Tuesday 16 December 2008

AKU BUKAN RUMAH KALIAN LAGI*

dedicated to all people who care to global warming issues...


Aku tidak mengerti mengapa mereka begitu jahat padaku, setiap hari mereka menyakitiku dengan segala perbuatannya. Padahal aku tidak pernah menyakiti mereka, aku juga tidak pernah merugikan mereka. Justru aku selalu melindungi mereka, aku yang sudah memberikan tempat tinggal pada mereka, tapi mengapa mereka menyakiti aku?

Mereka juga sudah tidak lagi memperdulikan keadaanku, mereka semakin tak acuh dan bersikap apatis terhadapku. Padahal mereka sendiri yang bilang kalau aku ini sedang sakit. Tapi mengapa mereka tidak berusaha untuk mengobatiku? Salah apa aku?

Dulu nenek moyang mereka merawatku dengan penuh kasih sayang, mereka membuat semuanya terasa sangat sejuk dan menyegarkan. Aku bahagia bisa tinggal bersama mereka, aku juga bahagia Tuhan memilihku sebagai rumah mereka, bukan delapan saudaraku yang lain. Padahal aku punya adik yang jauh lebih besar, yang bisa menampung semua jumlah mereka saat ini.

“Kamu kenapa?” tanya adik pertamaku yang heran karena aku selalu menangis. Namanya Mars. Ya, begitulah mereka menyebu adikku yang berkulit merah keemasan ini.

“Aku sedih, mereka selalu menyakiti aku, mereka sudah tidak memperdulikan aku. Lihat sekarang aku begitu kotor dan rapuh. Mereka bilang aku sedang sakit, tapi mereka tidak mau mengobatiku!” kataku berkeluh kesah.

“Iya, belakangan kulitmu terlihat kusam, tidak lagi segar seperti dulu. Badanmu juga sering demam. Kamu sakit apa?” tanya Mars.

“Aku tidak tahu, yang sering aku dengar mereka menyebut penyakitku global waraming!”
“GLOBAL WARMING? apa itu penyakit menular?” tanya Mars panik.

Kali ini semua kakak dan adikku tiba-tiba ikut melirik kearahku, Mars terlalu keras menyebutkan nama penyakitku. Aku malu.

“Jangan berisik, nanti ibu bangun. Bumi, itu bukan penyakit menular kan?” tanya Venus lembut. Sebagai seorang kakak, Venus sangat memperhatikan aku, mungkin karena ia adalah kakakku yang paling dekat.

“Aku tidak tahu... hanya saja badanku sering kali demam karena pakaian yang melindungiku menipis karena. Manusia juga sering mengeluh mereka kepanasan!” jawabku pelan.

“Kalau mereka mau dingin, suruh saja mereka tinggal bersama si bungsu Pluto!” celoteh kakak tertuaku, Mercury.

“Stt... jangan sebut-sebut nama Pluto sebagai adik kita. Ia akan sedih kalau mendengarnya!” kataku berbisik.

“Lho? Memang kenapa? Kamu mau ikut-ikutan seperti manusia yang sudah menyakiti kamu, berpendapat kalau Pluto bukan keluarga kita? kalau Pluto hanya...” ujar Jupiter, si bongsor.

“Stt... tidak, aku tidak bermaksud seperti itu. Hanya saja Pluto sekarang ini jadi lebih sensitive semenjak ia mendengar manusia tak lagi menganggapnya sebagai keluarga kita. Karena itu, kita jangan membahas hal ini lagi. Itu akan menyakitkan Pluto!” kataku berpanjang lebar. Adik-adikku yang lain mengangguk.

“Bumi, mengapa kamu tidak mengusir manusia-manusia itu dari tubuhmu? Bukankah mereka sudah menyakitimu sedemikian rupa? Lihat, dulu kulitmu berwarna hijau dan biru. Jika dilihat dari jauh, kamu begitu indah, cantik dan menyegarkan. Sekarang? Kamu terlihat kusam!” ujar Neptunus agak berteriak, mungkin karena jaraknya yang cukup jauh dengan posisiku.

“Iya Bumi, usir saja mereka dari tubuhmu. Mereka hanya akan menyakitimu, mereka tidak lagi menyayangimu seperti dulu!” Saturnus ikut memprovokasi agar mengusir manusia dari tubuhku.

“Kalau aku mengusir mereka, mereka mau tinggal dimana? Mereka belum menemukan rumah yang baru yang bisa dijadikan tempat tinggal!” kataku memikirkan nasib manusia.

“Kenapa kamu harus memikirkan mereka, bukankah mereka juga tidak memikirkan dan tidak memperdulikan kamu? Mereka sudah tidak menganggap kamu sebagai rumahnya. Lagipula bukankah mereka sedang meneliti Mars untuk dijadikan tempat tinggal?” tanya Uranus.

“Heh. Aku tidak sudi jadi tempat tinggal manusia. Jangan-jangan nanti aku seperti Bumi disia-siakan, dikhianati oleh para penghuninya sendiri. Aku tidak mau!” kata Mars mencibir.

Tiba-tiba saja aku jadi teringat percakapan antara bunga mawar dengan kumbang kemarin sore. Mereka sedang membicarakan kupu-kupu hitam putih yang sedang singgah di tangkai bunga kenanga, mawar tampak heran melihat ada kupu-kupu yang berwarna tidak menarik.

“Kumbang lihat, ada kupu-kupu aneh yang hinggap di kenanga!” ujar mawar.

“Oh, itu bukan kupu-kupu aneh. Itu kupu-kupu hitam putih!” kata kumbang sambil menghisap madu milik mawar.

“Kenapa hitam putih? Apa warnanya luntur terendam lumpur...?”

“Stt, ini bukan tentang lumpur. Jangan sebut-sebut lumpur (...) pura-pura lupa saja!” kata kumbang setengah berbisik.

“Oke. Jadi kenapa hitam putih?”

“Karena kupu-kupu hitam putih adalah kupu-kupu yang hilang warna. Ia tidak mendapat spektrum warna dari cahaya matahari” jelas kumbang.

“Kenapa bisa sampai seperti itu?” mawar terus bertanya.

“Karena ia tak lagi berani memandang matahari untuk mengutip tiap candela cahayanya,”

“Lho, kenapa?” mawar heran mendengarnya.

“Kamu tidak lihat, karena langit sekarang berlubang. Bumi sudah tidak mampu lagi melindungi manusia dan makhluk lainnya!”

“Kenapa?”

“Ceritanya, pada suatu hari... kupu-kupu hitam putih yang dulu bernama kupu-kupu merah putih teriak-teriak karena kerajaannya kebakaran. Tapi tak satu pun petugas pemadam kebakaran mendengar teriakan itu, mereka semua tutup kuping, ketika ilalang dan reranting diboikot api,”

“Api betulan atau ‘api’ buatan manusia metropolitan?” tanya mawar haus bertanya. Kumbang berhenti bercerita.

“Jangan potong ceritaku!” bentak kumbang kesal. Mawar mengangguk tanda mengerti, kumbang melanjutkan ceritanya. “Selanjutnya pasukan debu menggigiti langit hingga berlubang!”

“Kalau begitu kita harus berdemonstrasi di kedutaan debu dan api!” kata mawar bersemangat.

“Eh, jangan salahkan debu dan api! Yang salah mungkin petugas-petugas itu, atau mungkin yang salah tukang sulap, yang menyulap zamrud khatulistiwa jadi bungkus ‘Mek Di’...” cegah kumbang.

“Atau mungkin juga yang salah itu... kamu! Kamu yaa?” tuding mawar pada kumbang. Kumbang mencibir dan pergi setelah puas menghisap madu sang mawar, sama seperti yang dilakukan manusia padaku. Setelah puas mengambil semua harta berharga yang tersembunyi dibalik tubuhku, mereka menelantarkanku.

Aku menangis tersedu-sedu mengingatnya, seketika itu juga Venus berusaha merangkulku, menghiburku dengan nyanyian yang tidak aku mengerti bahasanya. Tapi aku yakin, arti nyanyian itu pasti tentang kesedihanku.

“Jangan bersedih lagi bumi, lihat jika kamu sedih es dikepalamu akan mencair. Suhu badanmu nanti tidak karuan lagi!” nasihat Mercury.

“Aku kecewa pada manusia, mati-matian aku melindungi mereka dari segala macam bahaya, tapi mereka malah menyakiti aku. Lihat kulitku berlubang karena perbuatan mereka, suhu tubuhku sering tidak karuan. Kadang sangat panas, kadang sangat dingin. Mereka sudah tidak menyayangi aku lagi!” kataku berkeluh kesah.

“Jangan menggerutu terus bumi, tidak semua manusia jahat kepadamu,” bulan yang sedari tadi tidur kini ikut-ukutan berkomentar. “coba lihat, manusia sudah mulai sadar akan akibat dari perbuatan mereka selama ini padamu. Mereka sekarang sudah mulai memperhatikan lingkungan, ada yang menanam pohon, ada yang mendaur ulang sampah, ada juga yang...!”

“Stop. Awas bumi, ada pasukan bintang yang ingin menabrakmu!” teriak Jupiter menyela komentar bulan.

“Biar saja. Biar manusia tahu rasa!” kataku mengacuhkan peringatan Jupiter. Ya, biarkan saja manusia-manusia itu merasakan akibatnya.

“Bumiiii cepat menghindar, nanti kamu terluka!” teriak Pluto yang sedari tadi tidak bersuara.

“Biar. Aku sudah tidak peduli, biar saja pasukan bintang menghantamku. Biarkan saja, toh aku sudah sakit!”

“Bumi awaaasss...!” kali ini ibuku, matahari yang berteriak.

Dhuaaaaarrrr. Aku tersenyum melihat pasukan bintang melukai sebagian besar tubuhku, tubuhku kini berselimutkan awan kelabu. Sama seperti kumpulan debu yang manusia ciptakan dari bangunan-bangunan besi yang mereka beri nama pabrik. Tidak ada rasa sakit yang kurasakan saat pasukan bintang menyerangku untuk kedua kalinya.

Biar saja manusia-manusia itu merasakan sakit yang pernah aku rasakan, biar saja mereka kebingungan mencari tempat tinggal yang baru. Biar saja, toh aku bukan rumah mereka lagi. Salah mereka sendiri, mengapa mereka sudah tidak mau lagi menjaga dan mengobatiku, buat apa aku harus melindungi mereka?
***

2 comments:

  1. Love it. Aku mengerti bagaimana perasaan kamu. lol I can't really speak indonesian but i'm learning it! I really like this post!

    ReplyDelete
  2. Wow... terima kasih :D
    Thanks for comin and read this post.
    I'm newbie @WP. I usually use multiply or blogspot to posting notes/ blog.hho
    Glad to hear that u learn Indonesian, my english is not fluent too but I will always learn and learn.

    :)

    ReplyDelete