Wednesday 16 November 2011

Silent Cry

"Waiting for the end to come | Wishing I had strength to stand | This is not what I had planned | It's out of my control"
-Waiting For The End_LinkinPark-

Sebait lagu di atas 1bulan ini mengiang2 di telinga saya, bukan karena konser LP yang udah lewat kapan tau, tapi karena lirik lagu ini menggambarkan kondisi saya, sialnya bukan cuma sebait dua bait. Tapi hampir keseluruhan lagu nya.

Bermula dari keputusan saya pindah kerja, berusaha untuk menyanggupi keinginan pihak lain, mengabaikan ambisi dan obsesi saya untuk meraih mimpi.

Saya mengalah, toh karena saya juga lelah dengan atmosphere yang tidak kondusif di tempat saya bekerja. Berusaha berdamai dengan ego, mengikuti kemauan Beliau, berusaha mengerti bahwa mungkin ini waktunya saya kembali.

Tapi rasanya seperti mengkhianati diri sendiri, ketika saya dinyatakan lulus test dan ditempatkan di divisi yang menurut orang2 di perusahaan itu sangat sulit tembus untuk lulusan yang sama sekali tidak ada background pendidikannya.

Saya juga lolos psikotest. Padahal aneka rangkaian test itu saya kerjakan asal2an, sekali lagi saya tegaskan, karena saya gak minat kerja disitu, sekalipun gajinya tergolong besar untuk lulusan seperti saya, sekalipun diimingi2i aneka macam tunjangan yang jelas diluar standar lulusan d3 & daerah tersebut. Tapi saya gak tertarik.

Tujuan saya ikut seleksi tersebut hanya sekedar mengikuti keinginan Beliau. Sebut saja saya si bodoh, karena setelah dinyatakan lolos dan diterima saya diam2 datang lagi ke kantor itu, memohon nama saya di coret. Tak perlu memandang siapa orangtua saya, siapa oom+tante saya, saya gak mau kerja disitu. Itu saja.

"Orang Bodoh yang menolak kesempatan dan rezeki emas" itu mungkin yang terlontar dari hati sang HRD & GM. Mungkin juga dari hati kalian. Right?

Saya gak peduli, saya hanya ingin bekerja di tempat yang saya inginkan, saya gak cuma cari uang, saya cari kenyamanan. Okay kedengeran munafik ya? Karena zaman sekarang segalanya butuh uang. Whatever.

Hari itu, saya pulang. Dengan batin yang masih terus berperang, dengan ego dan logika yang tak mau berkompromi. Saya butuh menyendiri, melepaskan penat dari semua tekanan orang2. Berpergian tanpa tujuan, dan tanpa persiapan apa2.

Saya menatap wajah lelah itu, berpamitan karena untuk beberapa minggu kedepan saya kembali menjadi perantauan, menyelesaikan pekerjaan2 yang masih harus saya selesaikan.

Saya tahu, dibalik anggukannya ada tangisan yang beliau tahan, saya bisa melihat itu. Saya juga tahu dibalik lambaian itu ada sebuah pertanyaan yang tak pernah saya jawab mengapa saya berubah 1 tahun ini. Dan saya tahu, setiap malam ketika saya datang, ada sepasang mata yang berkata "ceritakan semua beban itu". Sayang saya gak bisa jawab, gak bisa cerita.

Saya menyimpan rapat2 dari mereka. Kembali bersandiwara menjadi puteri yang bahagia, yang bebas dari gangguan penyihir jahat, hidup bahagia menunggu sang pangeran dari pengembaraannya. Fuiih dongeng klasik!

Sekarang saya disini, disebuah ruangan tanpa jendela. Menatap sebuah pesan singkat berisi doa, pesan yang dikirim tak lama setelah kami menyudahi percakapan di telepon. Saya terpaksa berbohong, entah untuk keberapa ribu kalinya, berkata saya baik2 saja, saya sehat2 saja.

Dan saya tahu mereka disana mengatakan kebohongan yang sama.

They never -?- know, I never -?- know. Both of them never -?- know, if they crying each other. Keep it silent, this tears always be silent cry.