Sunday 31 January 2010

Resensi: Perahu Kertas

RESENSI BUKU

6765740Judul: Perahu Kertas
Penulis: Dee Dewi Lestari
Tahun Terbit: 2010 (Gramedia Pustaka)

Kugy, yang periang, unik, memiliki daya imajinasi yang tinggi, pendongeng yang handal, dan sesungguhnya memendam keinginan menjadi pendongeng, dan memendam rasa pada Keenan.

Keenan, tidak bisa ditebak, ide-idenya orisinil, memiliki bakat yang luar biasa, pelukis yang berbakat, dan memendam keinginan menjadi pelukis ternama.

Mereka dipertemukan oleh takdir, keduanya saling melengkapi, keduanya saling bergantung, keduanya merasa memiliki banyak kesamaan, keduanya mampu menjadi diri mereka masing-masing saat bersama, namun akhirnya keduanya harus saling memisahkan diri. Memutuskan untuk memulai kisah baru lagi dari awal dengan orang yang baru.

Tapi Tuhan punya caranya sendiri, mereka dipertemukan dengan cara yang tak terduga. Kisah ini bukan lagi cinta segitiga, tapi cinta segi banyak. Mereka saling terkait, dan terbelit. Sulit untuk melepaskan, namun enggan untuk terus membohongi hati nurani.

Pada akhirnya, mereka menyerah pada hati yang tak hanya dipilih, tapi juga memilih.

Cerita Perahu Kertas ini simpel tapi dikemas dengan sangat menarik oleh Dee. Menceritakan pencarian cinta dan cita-cita yang sesungguhnya dari kedua tokoh sentral yaitu Kugy dan Keenan.

Betapa banyak orang di dunia ini yang harus menjadi "orang lain" terlebih dahulu sebelum akhirnya dapat menjadi sesuatu yang memang mereka inginkan, meski tidak sedikit orang yang tetap terjebak dalam sosok "orang lain" tersebut sampai akhir hayatnya.

Membaca buku ini membuat saya dengan terpaksa mengucapkan "kalian (keenan & kugy), seperti kami (saya dan dia)", meski mungkin ending ceritanya belum tentu sama.

Setidaknya buku ini mengajarkan kepada kita, untuk jujur terhadap perasaan masing-masing.

akhir kata...

"Aku ngga mau sepuluh, dua puluh tahun lagi aku sakit kaya gini setiap aku inget kamu..."

Friday 22 January 2010

Tak Mudah

Ku tulis ini saat bersedih, saat air mata itu tak lagi bisa aku bendung, saat rasa sesal dan kecewa itu muncul bersamaan.
Tak mudah ungkapkan rasa ini, berharap semua ini tak pernah singgah dan menguasai pikiranku.
Ketakutan-ketakutan itu selalu datang, seiring dengan keputusan yang aku pilih.
Apa memang Tuhan tak pernah mengizinkan aku untuk memilih dan terpilih?
Apa memang Ia hanya bisa aku dapatkan dalam imajinasi tak terbatas?
Tak bisakah aku tau jawabnya saat ini juga?

Aku benci menebak, selalu menebak-nebak.